Monday, December 4, 2006

MENCARI HAJI MABRUR YANG TRANSFORMATIF

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Penulis “Buku Pintar Calon Haji
Alumni ESQ Ekesekutif Nasional angk. 37.

Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia
berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang
berhaji di tanah suci. Demikianlah sudah berjalan
berpuluh tahun. Maka kita pantas bertanya, sejauh mana
para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.
Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang
memberi manfaat bagi sekitarnya

Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual -
apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis Eniscaya
jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan
devisa negara. Sama seperti orang yang sholat lima waktu,
namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari
perbuatan keji dan munkar). Atau orang yang puasa namun
yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.

Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran
haji. Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat,
bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang
mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke
masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke
masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke
masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.

Pelajaran Lima Inti Ritual Haji

Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i,
wukuf dan melempar jumrah. Apa pelajaran yang harus
dihayati oleh lima inti ritual ini?

Ihram adalah simbol penyucian diri. Sungguh manusia
diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali
ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya.
Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia
cenderung suka diperlakukan adil. Karena Allah al-’Alim
(Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu
baru. Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang)
maka manusia suka disayang oleh siapapun. Hanya saja, di
dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang,
tidak mau belajar dan kejam pada sesama. Ini terjadi
karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda
kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan. Dari
noda-noda inilah hati harus “diihramkanE Hati yang telah
“ihramEakan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu,
sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia
bisa dibangkitkan.

Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga
dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya. Pada
syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu
atau “berthawafE Bulan dan satelit berthawaf
mengelilingi bumi. Bumi berthawaf mengelilingi matahari.
Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang
atau jatuh. Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf
pada syari’at, maka dia akan liar atau beku. Pikiran yang
menolak syari'at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau
bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.

Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran.
Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja
nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas.
Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah
berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan
Allah. Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah
menyediakan rizki bagi setiap mahluknya. Namun dia telah
membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i. Maka
mari kita “men-sa’i-kanEaktivitas kita selama ini.
Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti
memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan
yang halal secara cerdas.

Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang
sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman
yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di
tengah manusia. Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah
bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai
taqwanya. Kita harus mampu “me-wukuf-kanEsemua rizki
yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang
dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat. Apa
artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa
artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar
ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau
tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang
dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa
artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling
mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang
yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak
suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi
(Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh
alam. Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan,
kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan
menghalangi kita. Untuk itu, setan-setan ini harus
“dilempariEsebagaimana para hujaj melempar jumrah. Dan
setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa
pulangEalias “direhabilitasiE

Meng-“ihramkan hati, men-“thawafkan pikiran,
men-“saikan aktivitas, me-“wukufkan rizki yang
diterima dan me-“lempar jumrah pada penghalang amal kita
ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk
oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau
quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini. Meski
demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja
bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci. Tentu
saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya
menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke
arah yang lebih mulia.

No comments: